Monday, June 13, 2011

Guys, wanna see my professional profile?

Kun Praseno is a community development expert with 10 years of experience helping Indonesian communities adjust to climate change. He holds a Master’s degree in maritime studies from theUniversity of Wollongong in New South Wales, Australia, and has received technical training at workshops in Indonesia and overseas. His work includes behavior change and improving livelihoods. An Indonesian national, Mr. Praseno lives in Jakarta Timur and is available to servein this assignment upon award. His native language is Bahasa Indonesian; he is fluent in English.

Expertise and experience. Mr. Praseno is the community-based management specialist for Phase II of COREMAP, for which he has worked in various capacities since 2005; he also worked on Phase I. With COREMAP, he fosters development of community groups to raise awareness and helps prepare for possible disasters by developing protocols and alarm systems. He facilitates village-level coral reef management plan development to protect reefs and mitigate the effects of climate change. This work includes land use planning to address degradation of shorelines due to climate change. He promotes BCC through creation of village information centers that provide materials to help community members understand the importance of marine ecosystems to the sustainability of their environment and livelihoods. Mr. Praseno founded the Destructive Fishing Watch Indonesia Foundation, which works to eliminate fishing practices that destroy coral reefs. He has supported household resilience through seed funding for microfinance projects in such alternative livelihoods as textile production and aquaculture. He has promoted sustainable fisheries and helped local fisherman understand the dangers of overfishing and the importance of keeping fish stock maintained. Mr. Praseno has also managed training and capacity-building for MMAF staff in community-based techniques, a role he will reprise for COREMAP capacitybuilding for IMACS. His successes at the local level have helped communities identify traditional practices that are relevant to coral reef protection and sustainable fishing.

Now, start from March 2011 he working with Indonesia Marine and Climate Support Project (IMACS)-USAID as a Community Resilience and Climate Change Adaptation Advisor

Communication skills. Mr. Praseno has published often in his technical areas. He consistently provides clear leadership and communicates regularly with coworkers and international partners. Although he has experience in a variety of settings, the bulk of his work has been in community based awareness raising and behavior change communication.

Familiarity with the Indonesian political, social, and cultural context. Mr. Praseno has extensive experience in Indonesia, including work with local communities, NGOs, and in-country stakeholders and partners. He is deeply familiar with the political, cultural, and social context.

Monday, June 6, 2011

NTB telah melangkah bersiaga menghadapi Perubahan Iklim!



Pulau Lombok dan Sumbawa sebagai pulau besar yang terdapat di NTB sesungguhnya telah mengalami akibat dari pemanasan global, masyarakat merasakan bahwa prilaku cuaca semakin fluktuatif dan terjadi peningkatan kejadian cuaca yang ekstrem. Berdasarkan hasil pengamatan suhu udara rata-rata periode Januari 1971 hinggga Desember 2009 terjadi peningkatan suhu udara rata-rata lebih dari 0,5 oC,sedangkan suhu udara tertinggi 27,6 dan terendah 24,4 oC. Selain itu pergeseran periode curah hujan telah terjadi, dari 1971 hingga 2000 umumnya hujan terjadi antara Januari – Maret namun pada 2006 terjadi pada Oktober –Desember.

Perubahan ini membawa dampak negatif yang cukup signifikan, masyarakat petani mengalami kekeringan pada lahan usahanya ,kekeringan lahan pertanian pada 2007 mencapai luasan 6.272 Ha, sementara tanaman padi yang puso (gagal panen) mencapai 2.712 Ha, sedangkan masyarakat nelayan hampir tidak dapat melaut akibat gelombang laut dan air pasang yang terjadi sepanjang tahun. Selain itu terjadi peningkatan intensitas bencana, banjir yang terjadi di bulan April 2007 di Kab. Sumbawa menyebabkan kerugian kurang lebih Rp.30 milyar.

Kejadian diatas diperparah dengan adanya ketidakpedulian para stakeholder terhadap fenomena alam dan kerusakan lingkungan ini, hal ini ditunjukkan dengan masih adanya pemberian ijin usaha yang tidak mengindahkan rencana tata ruang wilayah, masih adanya kebijakan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan (carring capacity), belum lagi penegakan hukum yang cenderung masih lemah.

Mengantisipasi fenomena ini, pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat, mulai bersiap menghadapinya. Dimulai dengan diinisiasinya kerjasama riset terkait climate change dengan ditandainya Memorandum of Undestanding (MoU) antara BAPPEDA dan BLHP NTB, Universitas Mataram dan AusAID-CSIRO Research for Development Alliance tenanting Operating ZPrinciples for the Research project Climate Futures and Rural Livelihood Adaptation Strategies in NTB Province, yang berlaku sejak Juli 2010 hingga Juni 2013. Niat baik ini sebelumnya juga telah dilakukan dengan keluarnya Keputusan Gubernur NTB No. 68.B pada 2008 tentang Pembentukan Gugus Tugas untuk Pengarusutamaan Aspek-Aspek Perubahan Iklim di Prov. NTB,serta adanya Rencana Pembangunan jangka Menengah Daerah Prov NTB 2009-2013 yang salah satu keberpihakannya pada isu global warming. Usaha pemerintah NTB tidak berhenti ditingkat ini saja, bekerjasama dengan WWF dan didukung pendanaan dari GTZ (Deutshe Gesellscahft fur Technische Zussamensarbeit), mereka melakukan Kajian Resiko dan Adaptasi Perubahan Iklim di pulau Lombok dan selanjutnya dilanjutkan dengan penyusunan Rencana Aksi Daerah-Adaptasi dan Mitigasi Perubahan iklim global di provinsi NTB untuk tahun 2010-2015.

Akhir bulan Mei 2011, NTB menyelenggarakan Lokakarya membahas rencana skenario menghadapi perubahan iklim di masa datang dan bagaimana usaha mata pencaharian masyarakat dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Lokakarya ini berlangsung mulai tanggal 30 Mei hingga 2 Juni 2011 di Hotel Sanur Paradise Plaza – Bali dengan menghadirkan berbagaio narasumber penting baik dari CSIRO Australia maupun dari stakeholder perguruan tinggi. Strategi kegiatan ini adalah mencoba memfasilitasi pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan para pihak menjadi pengetahuan bersama. Pengetahuan bersama inilah yang dianggap paling ideal dapat menjawab upaya antisipasi dan mitigasi perubahan iklim yang terjadi di NTB.

Disadari walau ini masih tahap awal dari upaya besar menghadapi perubahan iklim , namun NTB telah memulai dan berbenah menghadapi perubahan iklim, orang bijak berkata bahwa langkah besar tidak akan berjalan tanpa didahului langkah pertama, dan NTB telah melangkah, akankah daerah lain mengikutinya langkah mereka?kita lihat saja nanti!

Kami Sudah merasakan akibat Perubahan Iklim!


Pak, Kami sudah merasakan akibat perubahan iklim? Ini adalah respon spontan yang disampaikan Pak Supriadi-Ketua Kelompok Nelayan Bintang Samudera, yaitu kelompok masyarakat penangkapan kepiting Rajungan, setelah sesi presentasi di kegiatan Workshop Pengembangan Desa Tahan Perubahan Iklim ‘ yang berlangsung pada 10 Mei 2011, di Rumah Pintar,Desa Tanjung Pasir,Kec Teluk Naga,Kab.Tangerang. Kegiatan ini bertujuan untuk menggali dan memberikan masukan terhadap Konsep Desa Tahan Perubahan Iklim’ dari berbagai stakeholder terutama masyarakat yang terkena dampak langsung perubahan iklim dan bencana.

Selanjutnya Tim IMACS, melakukan wawancara langsung untuk mengetahui dampak apa yang telah dirasakan oleh masyaralat Desa Tekluk Naga seperti yang disampaikan tadi.

‘Pak, sudah dua tahun ini kami kesulitan menangkap kepiting rajungan, kepting itu sepertinya hilang entah kemana juga ikan-ikan mulai sedikit, padahal kami dahulu ketika kepiting rajungan masih banyak muncul, setiap nelayan jika turun kelaut sehari bisa dapat seratus ribu rupiah, sekarang untuk dapat 20 ribu aja susah sekali’ begitu informasi Beliau saat awal wawancara. ‘Anggota kelompok nelayan saya sekarang tinggal sepuluh orang Pak dari 60 anggota, untung kami diperbolehkan jualan di lokasi Pos Angkatan laut ini jadi sedikit menolong, tambah beliau.

Menurut Bapak penyebab hilangnya kepiting rajungan itu apa pak?, ‘nah itu tadi yang saya sampaikan bahwa ini gara-gara musim yang tidak menentu Pak, saat ini seharusnya sudah musim timur tapi cuacanya masih seperti musim barat , kepiting rajungan itu biasanya muncul mulai bulan keempat hingga bulan pertama tahun berikutnya, bulan kedua dan ketiga ada tapi sedikit sekali, namun sekarang yang seharusnya melimpah, malah tidak ada kepiting yang muncul’.

Besar kemungkinan analisa Pak Supriadi benar bahwa berkurangnya kelimpahan kepiting rajungan disebabkan telah berubahnya iklim di laut yang tentunya akan berdampak kepada siklus perkembangbiakan organisme tersebut mengingat adanya perubahan suhu, seperti yang terjadi di darat dimana terjadi peningkatan populasi ulat bulu yang berlebih-lebihan di daerah jawa timur dan tengah, menurut Suputa- pakar hama dan penyakit tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Perubahan iklim terutama temperatur lingkungan ikut mempengaruhi populasi ulat bulu, karena temperatur yang meningkat dapat mempercepat siklus hidup ulat itu’. Mungkin temperatur yang meningkat menyebabkan telur-telur rajungan mati?

‘Kalaupun kami bisa menangkap rajungan sekarang Pak, tapi baru beberapa menit di perahu rajungan itu menjadi merah dan mati, nah kalau hal ini kami yakin bahwa ini disebabkan pencemaran yang makin banyak dibawa oleh sungai Cisadane ke daerah laut kami Pak’ tambah pak Supriadi. Mungkin pencemaran juga menjadi penyebab mudahnya kematian rajungan yang ditangkap, namun hal ini masih perlu penelitian lebih dalam.

Desa Teluk Naga sejak dahulu juga terkena dampak rob, namun yang dirasakan warga, rob saat ini airnya sudah makin dalam, rob juga membawa material pasir yang menutupi saluran air di empang-empag masyarakat sehingga menggangu sirkulasi air yang pada ujungnya menggangu pertumbuhan udang dan ikan yang dibudidaya. Bahkan 10 .000 benih bandengan yang ditebar oleh Ibu Ani Yoduyono pada tahun 2010 bersamaan dengan peresmian Rumah Pintar bantuan SIKIB hingga hampir dua tahun masih sebesar dua jari orang dewasa, padahal umumnya waktu pembudidayaan bandeng hanya sekitar 4-5.bulan sudah dapat dipanen.


Walau masih perlu analisa lebih dalam terkait dengan fenomena ini,namun yang pasti masyarakat desa Teluk Naga ketahui bahwa mereka saat ini sudah kesulitan menangkap rajungan dan ikan lagi, dan menurut persepsi mereka hal ini disebabkan telah berubahnya musim di laut,

Pertanyaannya ‘Akankah kita berdiam diri dan membiarkan ini terus terjadi atau bahkan turut memperparah dampaknya dengan melakukan pengelolaan sumberdaya dengan cara yang tidak ramah lingkungan?..semua ada ditangan kita?kun

SEKARANG HUJAN TIDAK PERNAH LELAH

Kakekku tidak dapat menanam kacang tahun lalu, karena sawahnya tergenang air terus,ini awal presentasi Kun Praseno, Advisor Ketahanan Masyarakat dan Adaptasi Perubahan Iklim program IMACS! Presentasi ini dilakukan di Lokakarya Kampanye PRIDE 2011 yang bertajuk Menginspirasi Konservasi berbasis komunitas. Kegiatan ini dilaksanakan di Bogor oleh Rare Indonesia, Lembaga yang memiliki misi ‘Inspiring Conservation’ , berlangsung mulai tanggal 18 hingga 19 april 2011.

Momentum lokakarya ini dimanfaatkan oleh program IMACS untuk melakukan sosialisasi program, mengingat peserta lokakarya berasal dari seleuruh Indonesia dan dari berbagai stakeholder pelaku kegiatan lingkungan. Untuk memancing keingintahuan peserta terhadap program IMACS, presenter dari IMACS membuka dengan menceritakan kondisi Kakeknya yang tidak dapat menanam kacang panjang di tahun 2010, akibat hujan terus menerus tidak mengenal lelah menurunkan airnya sepanjang tahun, sementara lahan untuk palawija jenis seperti kacang ini dalam masa pertumbuhannya tidak memerlukan air yang terlalu banyak. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa 2010 tidak ada musim kemarau yang datang menyapa. Jika Kondisi ini telah terjadi berarti sangat mungkin akan terjadi kemarau yang berlangsung sepanjang tahun bukan? Banyak parameter alam disekitar kita yang telah berubah, data menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran pola musim dan peningkatan potensi terjadinya curah hujan maksimum!Kita tidak menyadari bahwa ternyata telah terjadi Perubahan Iklim. Perubahan Iklim adalah berubahnya parameter iklim (curah hujan,suhu,angin,kelembaban,tekanan udara,penguapan dan tutupan awan) pada pola dan intensitasnya dibandingkan dengan rata-rata waktu yang terukur . Dampaknya dapat berupa banjir,kekeringan,putting beliung,suhu udara yg semakin panas,hingga curah hujan yg tidak menentu dari tahun ke tahun.

Jika kita tidak mampu beradaptasi dan mengurangi dampak resiko perubahan iklim ini, maka kehidupan kita berada pada situasi terancam. Ditambah lagi posisi geografis Negara kita yang berada di sabuk gunung berapi yang rawan akan bencana, hal ini makin meningkatkan potensi resiko yang harus dihadapi hampir sebagian besar penduduk Indonesia. Untuk itu USAID merancang beberapa program yang substansinya mengarah untuk menjawab tantangan terhadap perubahan iklim melalui Marine Resources Management Program yang salah satunya adalah Indonesia Marine and climate Support (IMACS). Salah satu tugasnya adalah meningkatkan ketahanan masyarakat pesisir dan membantu masyarakat beradaptasi dengan perubahan iklim. Respond peserta cukup menggembirakan, Pak Lazuardi dari DKP Padang sangat berharap daerahnya mendapatkan manfaaf dari pelaksanaan program ini. Begitupula dengan Ir. Djati Witjaksono Hadi, M.Si, Kepala Balai Besar Taman Nasional Teluk Cenderawsih yang menyampaikan bahwa di lokasi taman nasionalnya telah terkena dampak akibat perubahan iklim ini yaitu dengan terjadinya ‘coral bleaching’ atau pemutihan karang akibat kenaikan suhu air laut yang mengakibatkan matinya karang-karang yang notabenenya merupakan rumah daripada ikan-ikan ekonomis penting, Beliau sangat berharap wilayah binaannya dapat menjadi lokasi program IMACS juga.

Pulau Barrang Lompo akan tenggelam!



Berita ini bukan bohongan,ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh DR.Amiruddin Tahir. Informasi ini diperoleh oleh IMACS proyek saat melakukan pertemuan dengan tim DR. Budi Wiryawan di kantor IMACS. Pertemuan ini bertujuan untuk mendalami lebih jauh pengalaman konsultan dalam melakukan Vulnerable Assesment (Analisa Kerentanan) di wilayah pesisir dan masyarakat nelayan akibat perubahan iklim. Tim Dr Budi ini terdiri dari DR. Amirudin Tahir, Asep Sukmara, Mulyana, mewakili PT. Bumi Karya Artha yang banyak bergerak dibidang pengelolaan pesisir dan laut.

Dalam presentasi ditampilkan penelitian kerentanan yang dilakukan di Batam (Pulau Kesu), Raja Ampat (Pulau Saonek) dan Makasar (Pulau Barang Lompo) pada tahun 2010. Diketahui bahwa di Pulau Kesu kenaikan sebesar 4 mm/tahun di Pulau Saonek 7mm/tahun dan di Makasar setinggi 5 mm/tahun.


Dengan menggunakan beberapa konsep kerentanan dari berbagai sumber, kemudian diformulasikan rumusan kerentanan sendiri yang terdiri dari eksposure dikalikan kerentanan dan dibagi adaptive capacity. Maka dengan perhitungan statistic akan keluar index kerentanan.


Seiring dengan diskusi yang berlangsung santai beberapa masukan dari tim IMACS antara lain adalah Rumusan-rumusan kerentanan yang dipakai disarankan untuk memasukkan unsur ketersediaan air bersih dan social ekonomi. Penelitian ditujukan khususnya pada adaptasi dibandingkan dengan mitigasi dan kemampuan beradapatasi dari segi phisic lingkungan.

Hasil dari penelitian ini menghasilkan alternative adaptasi strategi antara 1) tanpa management 2) dengan 30% management dan coastal protection serta 3) dengan 50% management dan coastal protection. Dengan simulasi model kerentanan mulai dari tahun 2010 hingga tahun 2100.

Adaptasi strategi yang diusulkan terbagi menjadi 3 termin waktu yaitu jangka pendek jangka menengah dan jangka panjang.

Momentum pertemuan ini cukup signifikan menambah wawasan kedua belah pihak terkhusus untuk tim IMACS yang akan banyak bergerak di permasalahan yang dihadapi akibat perubahan iklim.kun

Tuesday, January 4, 2011

“Sumpah Pocong Versi Bahari“

Cerita Sukses Pengelolaan DPL Berbasis Kearifan Lokal

(Pembelajaran Implementasi CBM di Kab. Buton)

Paradigma Baru Pengelolaan SD Perikanan

Paradigma pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini mulai bergeser secara substansial, dimana telah memposisikan masyarakat pesisir dan kepulauan sebagai faktor terpenting (main factor) dalam merumuskan sistem, kebijakan dan model pengelolaan. Paradigma ini diniscayakan dengan konsideransi bahwa masyarakat pesisir dan kepulauan merupakan bagian dalam sistem sosio-ekologi pesisir. Masyarakat pesisir dan kepulauan paling tidak memiliki tiga keutamaan dalam konteks berinteraksi dengan sumberdaya, pertama; memiliki sistem dan nilai-nilai tradisi yang berorientasi pada konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable utilization), kedua; dengan intensitas relasi yang tinggi karena sumberdaya perikanan adalah sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir dan kepualaun, sehingga secara simultan dapat menjalankan fungsi monitoring dan survaillance dengan efektif, dan ketiga; dengan kedekatan domisili antara masyarakat pesisir dan kepulauan dengan sumberdaya, sehingga dapat melakukan tindakan seketika jika terjadi insiden yang berpotensi merusak atau mengganggu keseimbangan sumberdaya perikanan.

Implementasi COREMAP II yang menitikberatkan pendekatannya pada pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat secara sistematis mempromosi dan memfasilitasi proses revitalisasi potensi atau keunggulan masyarakat pesisir dan kepulauan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Sejumlah Desa sebagai lokasi COREMAP II secara gradual telah mampu menginisiasi lahirnya model-model pengelolaan sumberdaya perikanan yang bertumpu pada sistem dan nilai tradisi lokal, salah satunya di Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton.

Lesson Learned Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

Secara geografis Kecamatan Wabula terletak pada posisi -5° 35' 60.00", +122° 49' 58.80" atau di sebelah selatan Pulau Buton. Secara administratif Kecamatan Wabula dengan Ibukota di Desa Wabula Kabupaten Buton yang mencakup 5 wilayah administrasi Desa, yakni Desa Koholimombono, Holimombo, Wasampela, Wabula dan Wasuemba. Dalam upaya penyelamatan terumbu karang serta mewujudkan pengelolaan dan pelestarian lingkungan pesisir dan potensi kelautan dan perikanan, Desa Wabula telah membentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dilegitimasi dengan Peraturan Desa (Perdes).

Daerah Perlindungan Laut (DPL) sebetulnya sudah tidak asing lagi dalam masyarakat Wabula. Sebelum terbentuknya DPL masyarakat Wabula sudah menerapkan sistem pelestarian lingkungan baik darat maupun laut dengan istilah OMBO. Untuk wilayah laut, OMBO dilakukan dengan sistem buka tutup area dengan luasan tertentu dan dalam jangka waktu 1 semester dan selanjutnya dibuka dan penutupan (OMBO) di areal pemanfaatan sebelumnya. Namun seiring berkembangnya jaman dan desakan kebutuhan dan tingginya konsumsi ikan, saat ini sistem OMBO hanya diterapkan untuk jenis Teripang dan Lola yang berlaku dalam jangka waktu yang tidak ditetapkan (setelah adanya pihak investor dan diputuskan oleh pemerintah dan masyarakat Desa).

Dalam perjalannya pengelolaan DPL terbilang sukses dan berhasil, baik dari sisi pertumbuhan dan kelestarian terumbu karang, hasil tangkapan masyarakat ataupun pengawasan serta penegakkan aturan mainnya (Perdes). DPL Desa Wasuemba dengan luasan 750 m x 2000 m terletak di ujung selatan Kec. Wabula dan jauh dari pemukiman, sangat rawan dengan praktek-praktek destructive fishing (seperti bom dan potasium) bahkan eksploitasi hasil dalam areal DPL sendiri masih sering terjadi. Kesadaran dan kepedulian masyarakat yang begitu tinggi dalam melestarikan terumbu karang, hampir menimbulkan bentrokan fisik dan bahkan hampir menelan korban jiwa oleh aksi kejahatan yang dilakukan para pelaku yang tidak bertanggung jawab . Minimnya fasilitas dan peralatan pengawasan masyarakat yang hanya mengandalkan sampan (koli-koli), telah berakibat pada makin maraknya aksi pencurian (illegal fishing) oleh para pelaku dengan leluasa beraksi (terutama pada malam hari) karena dukungan fasilitas dan persiapannya lebih canggih dan matang (terencana). Namun tidak sedikit juga para pelaku yang tertangkap basah telah diberikan sanksi (denda) sesuai Perdes.

Sebuah kejadian telah menarik banyak perhatian masyarakat, yaitu pada hari Minggu tanggal 2 Maret 2008 berlokais di Galampa Desa Wabula telah dilakukan pertemuan (sidang) yang membahas laporan LA DUWI sebagai Motivator Desa (MD) program COREMAP II Desa Wabula yang menangkap basah seorang warga Desa Wabula yang berinisial SR telah mengambil gurita dalam areal DPL Wabula – Wasampela. Dalam keterangannya MD menegur SR karena masuk dalam area DPL namun SR justru tetap mengambil seekor gurita dan berdalih bahwa keberadaannya di luar beberapa tiang tancap yang menurutnya adalah batas DPL. Namun MD tetap bersikeras bahwa apa yang dilakukan SR termasuk unsur kesengajaan karena sudah berkali-kali diberitahu dan ditunjukkan tiang tancap sebagai batas DPL yang sebenarnya dan posisi tiang tancap yang dimaksudkaannya adalah bukan batas-batas DPL tetapi dipindahkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena kedua belah pihak saling ngotot dan merasa benar dan hanya berdaasarkan barang bukti seekor gurita (tidak ada saksi mata) maka diberlakukan hukum Kaleo-leo.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam salah satu pasal Perdes Desa Wabula tentang penyelesaian konflik (permasalahan) bahwa “apabila terjadi konflik (permasalahan) internal antara warga dalam satu desa (Desa Wabula) dan tidak dilengkapi dengan saksi mata atau barang bukti maka penyelesaiannya dilakukan Kaleo-leo dan hasilnya wajib diterima oleh kedua belah pihak dan pihak yang bersalah wajib membayar denda sesuai tingkat pelanggarannya”.

Oleh karena proses KALEO-LEO dimenangkan oleh LA DUWI maka SR wajib membayar denda sebesar 1 juta rupiah (sebagaimana yang ditetapkan dalam Perdes).

Kaleo-leo adalah salah satu hukum Qisas yang diatur dalam prosesi tatanan adat dan budaya masyarakat Wabula dan digunakan untuk mengatur tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat Wabula baik di laut (Nambo) maupun darat (Pangkolo).

Secara harfiah Kaleo-Leo berasal dari kata LEO yang berarti menyelam. Sehingga KALEO-LEO adalah rangkaian kata berulang yang bermaksud menyerukan kedua belah pihak yang bertikai untuk membuktikan kebenaran ataupun kesalahannya dengan cara menyelam (karena masing-masing saling mengklaim kebenaran tanpa adanya bukti dan saksi). Dalam prosesi KALEO-LEO, kedua belah pihak sebelum melakukan penyelaman diwajibkan untuk memegang tiang kayu (masing-masing 1 tiang) yang sudah disediakan dan masing-masing tiang dibacakan BATATA oleh pemuka adat yang berisi sumpah dan menyerahkan semua permasalahan kedua pihak kepada penentu keadilan dan kebenaran hakiki (Allah SWT) melalui air sebagai salah satu kekuasaannya dan permohonan untuk mewujudkannya dalam waktu dan lamanya penyelaman.

Dalam kasus LA DUWI dan SR, setelah dilakukan aba-aba penyelaman di masing-masing tiang, dalam waktu sekitar 3 menit SR telah memunculkan beberapa gelembung di atas permukaan laut. Dan akhirnya pada menit ke 4, SR sudah muncul dipermukaan. Sementara itu LA DUWI merasa nyaman dan tertidur di dalam air dan baru sadar posisinya menyelam setelah ditarik kakinya oleh pemegang tiang. Kondisi SR yang gelisah dan tidak mampu bertahan lama saat menyelam adalah wujud keadilan Ilahi akibat kelalaiannya dan tidak mengakui perbuatannya.

Banyak orang beranggapan bahwa pihak yang menang dalam KALEO-LEO lebih ditentukan oleh kelincahan dan kepiawaian penyelamnya (yang biasa menyelam), namun kebanyakan kasus KALEO-LEO justru dimenangkan oleh orang yang tidak pernah menyelam. Dan sebaliknya setiap pihak yang merasa bersalah selalu memanggil orang yang pengalaman dalam menyelam tetapi tetap juga kalah.


DPL wilayah Kecamatan Wabula yang sudah tergolong sukses telah membawa keberuntungan tersendiri bagi masyarakat. Bagaimana tidak, beberapa kasus pelanggaran DPL dengan denda yang tidak sedikit telah menambah Kas dan Pendapatan Asli Desa (PAD).

Beberapa kasus pelanggaran DPL dan denda yang diterapkan :

No.

Waktu Kejadian

Permasalahan

Lokasi DPL

Denda (Rp)

1

Desember 2006

2 orang bersama-sama Menjaring dalam DPL

Wasuemba

2.000.000,-

2.

Maret 2007

2 orang bersama-sama menjaring di sekitar DPL tetapi mereka belum mengerti lokasi DPL

Wabula-Wasampela

250.000,-

3.

April 2007

2 orang mengambil 2 ekor teripang dalam DPL karena belum tahu DPL

Wasuemba

100.000,-

4.

Mei 2007

2 orang menangkap ikan dalam DPL dengan lampu petromax

Wabula-Wasampela

2.000.000,-

5.

September 2007

1 orang melakukan buka-tutup (kadongka) karang dalam DPL

Koholimombono

500.000,-

6.

Maret 2008

1 orang mengambil gurita dalam DPL

Wabula-Wasampela

1.000.000,-

Sumber : Laporan Fasilitator Kec. Wabula

Dari fenomena di atas, upaya pelestarian terumbu karang di Wabula menjadi bahan referensi dan pembelajaran utamanya dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat serta penyelamatan lingkungan pesisir di Indonesia, dan untuk lebih memperkuat dan mengefektifkan pengelolaan sumberdaya perikanan di Wabula dan ditempat-tempat lain perlu adanya strategi advokasi, kampanye bagi semua pihak serta dukungan sarana dan prasarana pengawasan, pembinaan dan pelestarian budaya tradisional, seperti OMBO di Wabula..



Lesson Learned Implementasi Dana Pengembangan Masyarakat COREMAPM II

CERITA SUKSES PENGAKSES DANA LKM

Diceritakan oleh Dede Setiawan (Cf Kampung Kaliam) Kepada Konsultan C2 Kab. Raja Ampat

Ludwik Hudson Mambrasar ( biasa dipanggil Udson ) merupakan salah satu anggota LKM Kampung Kaliam. Udson menjadi anggota LKM Kampung Kaliam sejak adanya dana LKM tahap I. Udson merupakan salah satu penampung lobster dan hasil laut lainnya seperti lola dan teripang, namun yang menjadi usaha utamanya adalah lobster.

Udson merintis usahanya dengan hanya menampung dari nelayan – nelayan lokal yang tidak menjual lobsternya ke pedagang Buton yang ada di kampung. Hal ini dikarenakan, karena pedagang tersebut memiliki kios di kampung sehingga penjualan lobster dapat ditukarkan dengan kebutuhan harian atau pembayaraan hutang – hutang di kios. Udson berusaha untuk tidak berhutang dan hanya menjual lobster ke penampung di Sorong 1x tiap bulannya dengan harga lobster bambu Rp.120,000 / kg dan lobster mutiara Rp.200,000 / kg ( harga beli di kampung ) dan biaya BBM untuk transportasi ke Sorong Rp.600,000 P/p Udson masih menyisakan keuntungan lebih dari Rp.500,000 setiap bulannya.

Dengan menjadi anggota LKM Kampung Kaliam dan mengakses dana pinjaman LKM sebesar Rp.1,000,000 ; Udson meningkatkan usahanya dan manjalankan strategi bisnisnya dengan baik. Dana tersebut sebagian dibelikan sembako dan BBM untuk kebutuhan nelayan – nelayan pencari lobster dan mereka berangkat mencari lobster bambu di ujung barat Pulau Batanta. Para nelayan tersebut mengambil sembako untuk keluarga di rumah yang mereka tinggalkan ( utang ). Selama mencari Lobster, Udson menyediakan semua kebutuhan nelayan mulai dari sembako dan minyak tanah untuk lampu petromax. Dan lobster hasil tangkapan nelayan – nelayan tersebut kemudian disetorkan kepada Udson dan pembayarannya diberikan setelah lobster dijual ke Sorong. Harga jula lobster bambu berkisar Rp.170,000 – Rp.200,000 dan lobster mutiara berkisar Rp.400,000 – Rp.500,000.

Saat ini, dalam 1 bulan Udson mampu menjual lobster bambu lebih dari 30 kg setiap kali berangkat ke Sorong dan melakukan penjualan lebih dari 4x setiap bulannya. Hanya dalam waktu 1 bulan, Udson sudah melunasi pinjamannya dan kembali mengakses dana sebesar Rp.2,000,000 dan dibantu oleh Ayahnya (Bp. Timotius Mambrasar ) yang mengakses dana Rp.1,000,000. Saat ini keuntungan yang di dapat oleh keluarga Mambrasar sebesar ±Rp.4,000,000 setiap bulannnya Dan mereka mulai mengembangkan usahanya lagi dengan menjual BBM di kampung walaupun masih belum tetap. Dan sudah mendapatkan supply sembako ( utangan ) dari salah satu penampung lobster di Pulau Doom ( H.Rochim ) untuk kebutuhan nelayan – nelayan pencari lobster di Kampung Kaliam agar tetap menjual lobsternya kepada Udson.