Wednesday, May 30, 2012


Sriwijaya Post
Front Liner Dituntut Improvisasi 
Melayani Penumpang Pesawat
Sriwijaya Post - Rabu, 30 Mei 2012 17:20 WIB
AGATHA.JPG
SRIPOKU.COM/ABDUL HAFIZ
Agatha Tridaryanti, instruktur service improvement program memberikan arahan.

SRIPOKU.COM, PALEMBANG - Front liner selaku ujung tombak petugas yang melayani calon penumpang pesawat dituntut improvisasi dalam melakukan service.

"Kita punya strategi sendiri bagaimana mengakomodir keinginan penumpang. Gunakan hati untuk mendengar, mengelola diri sendiri, mengelola pelanggan. Barulah improvisasi," seru Agatha Tridaryanti, instruktur service improvment program dari PT Gapura Angkasa Pusat didampingi GM PT Gapura Angkasa Palembang, I Ketut Deddy Hariyanto.

Tidak jarang dalam setiap kali penerbangan, ada saja penumpang bertanya, protes ke petugas front liner. Baik itu menanyakan tiket, delay, divert, dll.

"Kita cari tahu dulu pokok masalahnya apa. Petugas supaya tidak menyalahkan, memerintah customer. Tidak mendiskon, menyetujui dan mesti secara selektif mendengar pernyataan customer. Training ini baru tahap awal. Sebenarnya ada kelanjutan service coaching. (Meremain kader-kader itu untuk tuntutan ke staf). Seperti service terbaik. Kita adain ini sesuai kebutuhan, tentunya kembali harus ada kontrol di lapangan," terang Agatha.

Sebanyak 45 tenaga front liner PT Gapura Angkasa SMB II Palembang mengikuti training service improvement program & hospitality di Class Room Operasi Bandara International SMB II Palembang, 27-29 Mei 2012.

"Tanggal 30 Mei-1 Juni 2012 ini kan kita kedatangan tim pusat Internal Services Quality Audit (ISQA). Makanya kita datangan instruktur untuk menajamkan persepsi konsep garuda dengan yang ada di lapangan," ungkap Station Service Manager Garuda Indonesia SMB II Palembang, Hasymi.

Adapun ke-45 tenaga front liner dari PT Gapura Angkasa yang merupakan perusahaan groundhandling rekanan Garuda dalam melayani penumpang baik mulai dari check-in konter, boarding gate, hingga bagage services.

"Orang datang bertanya ke kita karena percaya kita tahu semua. Makanya gak kalah pentingnya kita tidak hanya bahasa pelayanan, tetapi juga paham juga akan produk. Misalnya kalau ditanya tiket. Paling tidak kita bisa memberikan perkiraannya segini, tapi untuk persisnya bisa datang ke konter. Begitu juga soal bagasi," ujar Hasymi kepada Sripoku.com.

Penulis : Abdul Hafiz
Editor : Sudarwan

Saturday, May 5, 2012


Program Mitra Bahari siap mengawal isu Perubahan Iklim
‘Manfaat TOT adaptasi perubahan iklim ini sangat besar bagi kami-terutama Mitra Bahari sebagai jembatan antara masyarakat serta pemerintah dan kami juga baru pertama kali mendapatkan pelatihan sejenis....kami harapkan kedepan hasil dari pelatihan ini dapat dikembalikan kepada masyarakat  dan birokrat......  ’ Dr. Ir. Sitti Hilyana, M. Si (Konsorsium Mitra Bahari NTB Universitas Mataram)


Berawal dari kegiatan Lokakarya Nasional XV Mitra Bahari pada tanggal 23 November 2011 di Bandung, dimana kesepakatan untuk bekerja sama disepakati antara IMACS dan Program Mitra bahri Nasional, maka kegiatan  Training of Trainer “Perencanaan adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil” dilaksanakan.

Persiapan pelaksanaan pelatihan didahului dengan pertemuan formal dan informal dengan pihak Sekretariat Nasioanal Mitra Bahari, khususnya dengan Umi Windriani-Kabag. Mitigasi Bencana & Polusi Lingkungan: dan Raden Tomi Supratomo serta pihak WWF dan Conservation Internasional. Paralel dengan persiapan ini,  pihak IMACS melakukan juga koordinasi intens dengan penyelenggara dan penyusun modul kegiatan training LEAP yaitu Meghan Gambos, Scots Atkinson serta Kathleen Flower, khususnya terkait dengan upaya perbaikan/revisi modul yang akan digunakan. 
Pertemuan membahas perbaikan modul juga dilakukan oleh para fasilitator yaitu Fendi Sondita, Taswien munier , Teddy Indrauan serta kun Praseno
Acara rutin tahunan Program Mitra Bahari ini ditujukan untuk peningkatan kapasitas sumberdaya manusia dalam mendukung pembangunan kelautan dan perikanan, khususnya kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui kemitraan antar stakeholder.  Adapun topik dan materi pelatihan setiap tahunnya disesuaikan dengan kebijakan dan program yang sedang menjadi fokus.  Pada tahun ini, pelatihan ini mengambil topik adaptasi perubahan iklim dengan judul “Perencanaan adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil”. 

Kegiatan ini dibuka oleh Sekretaris Ditjen KP3K dan diikuti oleh 40 (empat puluh) peserta dari 31 Konsorsium Mitra Bahari (KMB Bali dan Sumbar tidak mengirimkan perwakilannya), perwakilan dari Direktorat lingkup Ditjen KP3K dan perwakilan dari BPSDMKP.     
Komposisi peserta yaitu Pria 28 orang dan Wanita 12 orang. Guna menjaga kualitas dan keberlanjutan pelatihan ini, maka dalam pelatihan ini kami mengundang participatory observer dari Pusat Pelatihan BPSDMKP- Priyantini Dewi, SE, MM - Kasubbid Metode dan Kurikulum Puslat BPSDMKP.

Pelatihan ini dibagi secara garis besar dibagi menjadi 2 (dua) sesi yaitu sesi kebijakan dan program adaptasi perubahan iklim dan sesi praktek.  Pada Sesi kebijakan disampaikan Kebijakan Nasional Perubahan Iklim oleh Sekretaris Pokja Adaptasi Dewan Nasional Perubahan Iklim dan Kebijakan dan Program Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam Adaptasi Perubahan Iklim oleh Direktur Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K, KKP.  Sedangkan sesi praktek, peserta dibimbing oleh fasilitator yang terdiri dari Dr. Fedi Sondita (CI/IPB), Kun Praseno (IMACS), Taswien Munier (WWF) dan Teddy Indriauan (Direktorat Pesisir dan Lautan, Ditjen KP3K, KKP).  Adapun materi pelatihan mengadopsi modul pelatihan serupa di Negara Micronesia yang dikembangkan melalui Micronesia Challenge.
Perkembangan yang menarik setelah pelatihan ini berakhir adalah disepakatinya tindaklanjut baik di tingkat nasional maupun lokal, yang diharapkan dapat mengawali pengenalan dan penguatan kapasitas stakeholder terkait dengan isu perubahan iklim.  Ir. Abdul Hamid, M.Si dari Konsorsium Mitra Bahari Sulawesi Tenggara - FPIK Universitas Haluoleo juga menyampaikan kesiapan dan rencana untuk menularkan kapasitas yang diperoleh dari TOT ini kepada stakeholder di wilayahnya.

Adapun tindak lanjut dari pelatihan dimaksud sebagai berikut :
a. Modul Pelatihan akan disertifikasi sebagai standar modul pelatihan perencanaan adaptasi perubahan iklim   di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan pelatihanselanjutnya akan dilaksanakan oleh BSDMKP.
b. BPSDMKP sebagai pelaksana kewenangan dalam peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di bidang kelautan dan perikanan hendaknya dapat memanfaatkan peserta pelatihan sebagai bagian dari pelatih/pendamping masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
c. Ditjen KP3K hendaknya dapat membantu komunikasi dengan Dinas KP dan Universitas terkait dengan telah dilatihnya sumberdaya manusia Konsorsium Mitra Bahari guna mendukung implementasi adaptasi perubahan iklim di daerah.
d. Guna menindaklanjuti pelatihan ini, melalui program IMACS bekerjasama dengan BPSDMKP dan Ditjen KP3K, dapat ditingkatkan kapasitas modul pelatihan serta alumni pelatihan, sehingga modul pelatihan dan fasilitatornya dapat sesuai dengan kondisi dan dinamika kelautan dan perikanan di Indonesia dalam adaptasi perubahan iklim.

Tindaklanjut ini optimis dapat dilakukan, mengingat beberapa stakeholder PMB lokal telah menunjukkan kesiapannya seperti yang diungkapkan oleh Dr. Sitti Hilyana dari Konsorsium PMB NTB yang siap untuk ‘mengembalikan’ hasil pelatihan ini ditingkat masyarakat dan jajaran birokrat di daerahnya.(lihat film)

Progress ini juga merupakan bagian dari upaya pencapaian target program IMACS yang mengharapkan kesiapan Pemerintah lokal dan masyarakat di lokasi program dapat melakukan penilaian kerentanan lkhususnya yang terkait dengan akibat perubahan iklim. 

Thursday, February 23, 2012

Orientasi Isu Perubahan Iklim start dari Kampus


‘Selain mensosialisasikan isu ini kita akan dapat banyak masukan untuk perbaikan konsep jika kita mulai dari kampus’ itulah kalimat pertama yang disampaikan oleh Syofyan Kasie Perubahan Iklim - Direktorat Pesisir dan Laut - saat kita juga Isu perubahan iklim dan bencana sendiri kini menjadi arus utama dalam penyusunan kebijakan pembangunan desa-desa pesisir mengingat kondisi masyarakat pesisir Indonesia yang sangat rentan dalam menghadapi dampak yang timbulkan oleh bencana dan perubahan iklim. Pengembangan Desa Pesisir Tangguh adalah salah satu program yang telah diinisiasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia sejak tahun 2010 sebagai suatu upaya membangun desa pesisir yang tahan terhadap bencana dan perubahan iklim. Sebelumnya telah disusun sejumlah indikator kerentanan desa pesisir yang merupakan langkah awal untuk mengukur tingkat ketahanan desa pesisir terhadap resiko bencana dan perubahan iklim. Ketahanan desa pesisir terhadap bencana dan perubahan iklim ini dilihat dari beberapa dimensi, yaitu dimensi sosial-budaya, ekonomi, kelembagaan dan pemerintahan, infrastuktur/sarana prasarana, sumberdaya manusia dan lingkungan/ekologi.

Workshop ini secara spesifik mengusung tema “Menuju Desa Pesisir Indonesia Sejahtera Melalui Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT)”.

Workshop Pemberdayaan Pengembangan Desa Pesisir Tangguh ini diselenggarakan dengan tujuan sebagai berikut :

1) Membedah konsep Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) yang menghadirkan Menteri Kelautan dan Perikanan, dan sejumlah pakar dari perguruan tinggi

2) Sosialisasi, pengkritisan, penggalangan masukan serta penyempurnaan konsep Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT)

Peserta

1) Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir dan Laut, Dr. Sudirman Saad, SH. M.Hum

2) Direktur Pesisir dan Lautan Kementrian Kelautan dan Perikanan RI, Subandono Diposaptono

3) Kepala PKSPL (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan), Tridoyo Kusumastanto

4) Kepala PSP3 (Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan) IPB, Lala M. Kolopaking

5) Kepala P4W (Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah) IPB, Ernan Rustiadi

Workshop ini telah dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 22 September 2011 bertempat di Ruang Senat Lt.6 Gedung Andi Hakim Nasution, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan workshop dimulai dari jam 08.00 WIB sampai selesai.

· Umumnya, pakar bersepakat bahwa inisiasi kehadiran PDPT sebagai program pemberdayaan untuk desa pesisir penting untuk mewujudkan ketangguhan desa-desa pesisir terhadap bencana alam dan perubahan iklim.

· Sebagaimana program pemberdayaan yang diinisiasi oleh pemerintah, maka PDPT seyognya dapat belajar dari kegagalan dan keberhasilan program-program pemberdayaan sebelumnya. Maknanya, PDPT harus beranjak lebih maju mendesain kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat desa pesisir lalu melakukan elaborasi dalam bentuk kebijakan program pembangunan untuk desa-desa pesisir di Indonesia.

· Sejauh ini, program pemberdayaan disadari tidak mempunyai basis “nilai/ideologi” sehingga terkesan tidak memiliki spirit untuk menggerakkan program pemberdayaan. Sebaliknya, spirit yang dimiliki adalah spirit “proyek pembangunan”. Alhasil, program tidak mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat dan menjaga keberlangsungan program secara konsisten. Untuk itu, program PDPT perlu menentukan basis “nilai/ideologi” yang harus ditumbuhkan oleh program ini sebagai spirit penggeraknya.

· Tawaran basis “nilai/spirit” yang dimaksud adalah kemandirian, keberdaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Basis nilai inilah yang dijadikan sebagai bangunan struktur PDPT yang mana menekankan pada enam bina (manusia, usaha, sumberdaya, lingkungan dan infrastruktur, serta siaga bencana dan perubahan iklim).

· Basis nilai dan enam bina yang menjadi titik penekanan tersebut, harus dapat digambarkan dalam profil desa pesisir sebagai sasaran program PDPT. Hal ini disadari karena profil desa pesisir merupakan titik masuk untuk memahami kebutuhan desa-desa pesisir yang nantinya akan memperoleh intervensi dari pelaku-pelaku (aktor) PDPT, baik pemerintah, swasta, NGO, dan lain-lain.

· Untuk itu, dalam penyusunan profil desa pesisir perlu adanya gambaran basis nilai/ideologi dan keterkaitannya dengan enam bina yang telah disebutkan sebelumnya sebagai variabel “wajib” yang tercantum dalam gambaran profil desa.

· Dengan demikian, gambaran profil desa-desa pesisir akan mempunyai perbedaan existing condition antar satu dengan lainnya. Artinya disetiap desa pesisir mempunyai perbedaan intervensi kebutuhan program PDPT yang akan dilakukan nantinya.

· Sehinggapenyusunan profil desa perlu pendekatan khusus yang harus dijabarkan dalam pedoman teknis dan memuat variabel-variabel yang dianggap “homogen” harus ada di luar variabel demografi, pendapatan, administratif, dan lain-lain.

· Sehubungan dengan pendekatan penyusunan profil desa pesisir, maka pendekatan yang diharapkan adalah pendekatan partisipatif yang menitikberatkan pada dialog antar aktor-aktor di desa pesisir untuk menyusun daftar kebutuhan desa-desa pesisir agar menuju ketangguhan terhadap bencana alam dan perubahan iklim.

· Yang harus ditambahkan metode pendekatan. Mana yang paling cocok dan paling mudah di terima oleh masyarakat. Pedoman ini akan kami diturunkan ke dalam juknis dan juklak, sebagai wujud dukungan IMACS.

Kuda Laut Mengubah Loyo Jadi Joss

Kuda laut, sebagaimana ginseng dan pasak bumi, bisa dimanfaatkan sebagai obat pembangkit stamina yang loyo. Binatang yang menjadi lambang Pertamina ini juga dipakai sinse dan dokter Tradusional Chinese Medicine untuk mengatasi berbagai gangguan akibat melemahnya organ ginjal, vitalitas seksual, asma dan meningkatkan jumlah sperma.

Yusuf Arizona (37) seorang pedagang onderdil mobil di kawasan Casablanca, Jakarta Selatan setahun lalu menderita gangguan asma. Hal lain yang dialaminya adalah perasaan kaku di dada dan batuk kronis. Gangguan di atas kian mendera kala ia berlibur di daerah pegunungan yang berudara dingin.

Maksud hati menikmati pemandangan indah seraya menghirup udara segar, sayangnya deritalah yang dirasakan. Bagi Yusuf, udara dingin merupakan salah salah sebab pemicu kejang-kejang bronkial yang hanya untuk bernapas saja sudah menjadi suatu perjuangan yang menyulitkan.

Beruntung, ia bertemu Dr. Budi Sugiarto Widjaja. DOkter TCM yang berpraktik di Klinik Beijing, Jakarta Barat itu menganjurkan agar ia minum ramian kuda laut. "Satu sloki arak putih hasil rendaman kuda laut, saya minum setiap malam, selama 3 bulan. hasilnya saya tak lagi mengalami gangguan sesak napas meski di tempat dingin sekalipun," ujarnya.

Pengalaman lainnya, Hendro (65) wiraswastawan, sudah 3 tahun mengalami gangguan disfungsi ereksi. Setelah mengonsumsi kapsul kuda laut resep olahan Sinse Yang Siau Phing yang membuka toko obat tradisional Cina di daerah BSD, Tangerang, ia tak lagi mengalami gangguan seksual. Ia pun menyakini staminanya kian meningkat dan "joss" kala berhubungan badan. Atas pengalamannya itu, ia merasa mendapatkan tonikum bagi tubuhnya.

Prinsip Yin dan Yang
Dalam seni pengobatan Cina, obat-obatan digolongkan menurut tingkatan pengaruhnya dalam keseimbangan yin dan yang di berbagai macam energi vital manusia. Ramuan yang memanaskan sistem, meningkatkan metabolisme dan merangsang organ-organ vital. Kelompok yang dinilai baik sebagai panas atau hangat.

Sebaliknya, ramuan yin mendinginkan sistem, memperlambat energi-energi internal, dan menenangkan organ-organ vital. Kelompok yin disebut dingin atau sejuk, menurut kekuatannya.

Kuda laut yang bernama Latin Hippocampus kelloggi jordanet snyder ini, menurut Dr. Budi, efektif sebagai obat kuat atau tonikum bagi tubuh yang kekurangan yin. Kuda kaut, ujar dokter lulusan Universitas Beijing, Cina ini, termasuk dalam kelompok yang.

Ramuan kuda laut bekerja pada organ ginjal dan hati. Efektivitas kerja binatang ini, mampu memperlancar aliran peredaran darah di dalam tubuh. "Bila aliran darah yang menuju alat kelamin pria lancar, dengan sendirinya menguatkan daya ereksi saat bersenggama," tutur Dr. Budi.

Tonikum adalah kategori unik dari ramuan cina yang dimanfaatkan orang untuk memelihara kesehatan, meningkatkan vitalitas, dan memperpanjang usia. tonikum sebagai obat kuat sering digunakan para manula dan penderita defisiensi energi kronis agar dapat memperlambat proses penuaan dan meningkatkan fungsi vital, khususnya vitalitas seksual, kekebalan, dan fungsi otak. Tonikum telah menjadi ramuan Cina yang paling populer selama ribuan tahun.

Seperti diuraikan Sinse Yang Siau Phing, kuda laut adalah salah satu bahan ramuan tonikum. Ramuan ini bekerja dengan meningkatkan energi dan meningkatkan tiga fungsi sistem vital, yaitu imunitas, seksual dan otak. Ramuan tonikum mempunyai efek positif pada ketiga fungsi tersebut melalui jaringan umpan balik dengan perantaraan hormon, saraf pemancar, dan faktor kekebalan.

Menurut Dr. Budi, selain mampu mengatasi gangguan asma dan disfungsi ereksi, kuda laut juga baik untuk mengatasi gangguan insomnia, meningkatkan jumlah sperma, menguatkan rahim, mengatasi rasa nyeri di daerah lutut, serta mengatasi ancaman gangren. Dari beberapa literatur Cina, binatang ini diyakini juga mampu mengatasi kanker payudara dan meremajakan kulit.

Cara Pemanfaatan
Dijelaskan Dr. Budi, binatang laut yang berkepala mirip kuda dan panjang tubuhnya hingga 30 cm ini, berdasarkan teori TCM bersifat manis, hangat dan sedikit asin. Selain itu, binatang berwarna kuning dan putih ini mengandung asam stearat, protease, y-carotene, astacene, melanin, cholimesterase, sodium, klorida, magnesium, dan sulfat.

Untuk mendapatkan khasiat yang diinginkan, Dr Budi memberikan kiat cara mengolah kuda laut menjadi bahan obat. Cuci bersih kuda laut, lalu keluarkan isi organ tubuhnya, kemudian keringkan. Selanjutnya direndam dalam segelas arak putih. Diamkan selama satu hari. Hari berikutnya arak siap diminum sebagai minuman kesehatan.

Sebagai obat disfungsi ereksi, kata Sinse Yang, biasanya digunakan kuda laut dan naga laut kering. Manfaat naga laut memang untuk meningkatkan imunitas dan stamina yang loyo. Caranya, 1-2 kuda laut kering ditambah 1-3 naga laut (Syngnathus) kering direndam jadi satu dalam segelas arak putih.

Resep lainnya, kuda laut kering ditumbuk hingga hancur. Setelah menjadi bubuk, siap dikonsumsi langsung atau dimasukkan ke dalam kapsul. Dr. Budi menyarankan dosis rendaman kuda laut cukup sehari dua kali, masing-masing satu sloki, sedangkan bubuknya sehari sekali 3-9 gram dan kapsul 3x2.

Kuda laut maupun naga kering dapat diperoleh di toko obat tradisional Hati Tawakal milik Sinse Yang Siau Phing. Harga 1 ekor kuda laut kering Rp. 25.000, sedangkan naga laut kering Rp.5.000 per ekor.


Sumber: Majalah Nirmala

Monday, June 13, 2011

Guys, wanna see my professional profile?

Kun Praseno is a community development expert with 10 years of experience helping Indonesian communities adjust to climate change. He holds a Master’s degree in maritime studies from theUniversity of Wollongong in New South Wales, Australia, and has received technical training at workshops in Indonesia and overseas. His work includes behavior change and improving livelihoods. An Indonesian national, Mr. Praseno lives in Jakarta Timur and is available to servein this assignment upon award. His native language is Bahasa Indonesian; he is fluent in English.

Expertise and experience. Mr. Praseno is the community-based management specialist for Phase II of COREMAP, for which he has worked in various capacities since 2005; he also worked on Phase I. With COREMAP, he fosters development of community groups to raise awareness and helps prepare for possible disasters by developing protocols and alarm systems. He facilitates village-level coral reef management plan development to protect reefs and mitigate the effects of climate change. This work includes land use planning to address degradation of shorelines due to climate change. He promotes BCC through creation of village information centers that provide materials to help community members understand the importance of marine ecosystems to the sustainability of their environment and livelihoods. Mr. Praseno founded the Destructive Fishing Watch Indonesia Foundation, which works to eliminate fishing practices that destroy coral reefs. He has supported household resilience through seed funding for microfinance projects in such alternative livelihoods as textile production and aquaculture. He has promoted sustainable fisheries and helped local fisherman understand the dangers of overfishing and the importance of keeping fish stock maintained. Mr. Praseno has also managed training and capacity-building for MMAF staff in community-based techniques, a role he will reprise for COREMAP capacitybuilding for IMACS. His successes at the local level have helped communities identify traditional practices that are relevant to coral reef protection and sustainable fishing.

Now, start from March 2011 he working with Indonesia Marine and Climate Support Project (IMACS)-USAID as a Community Resilience and Climate Change Adaptation Advisor

Communication skills. Mr. Praseno has published often in his technical areas. He consistently provides clear leadership and communicates regularly with coworkers and international partners. Although he has experience in a variety of settings, the bulk of his work has been in community based awareness raising and behavior change communication.

Familiarity with the Indonesian political, social, and cultural context. Mr. Praseno has extensive experience in Indonesia, including work with local communities, NGOs, and in-country stakeholders and partners. He is deeply familiar with the political, cultural, and social context.

Monday, June 6, 2011

NTB telah melangkah bersiaga menghadapi Perubahan Iklim!



Pulau Lombok dan Sumbawa sebagai pulau besar yang terdapat di NTB sesungguhnya telah mengalami akibat dari pemanasan global, masyarakat merasakan bahwa prilaku cuaca semakin fluktuatif dan terjadi peningkatan kejadian cuaca yang ekstrem. Berdasarkan hasil pengamatan suhu udara rata-rata periode Januari 1971 hinggga Desember 2009 terjadi peningkatan suhu udara rata-rata lebih dari 0,5 oC,sedangkan suhu udara tertinggi 27,6 dan terendah 24,4 oC. Selain itu pergeseran periode curah hujan telah terjadi, dari 1971 hingga 2000 umumnya hujan terjadi antara Januari – Maret namun pada 2006 terjadi pada Oktober –Desember.

Perubahan ini membawa dampak negatif yang cukup signifikan, masyarakat petani mengalami kekeringan pada lahan usahanya ,kekeringan lahan pertanian pada 2007 mencapai luasan 6.272 Ha, sementara tanaman padi yang puso (gagal panen) mencapai 2.712 Ha, sedangkan masyarakat nelayan hampir tidak dapat melaut akibat gelombang laut dan air pasang yang terjadi sepanjang tahun. Selain itu terjadi peningkatan intensitas bencana, banjir yang terjadi di bulan April 2007 di Kab. Sumbawa menyebabkan kerugian kurang lebih Rp.30 milyar.

Kejadian diatas diperparah dengan adanya ketidakpedulian para stakeholder terhadap fenomena alam dan kerusakan lingkungan ini, hal ini ditunjukkan dengan masih adanya pemberian ijin usaha yang tidak mengindahkan rencana tata ruang wilayah, masih adanya kebijakan yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan (carring capacity), belum lagi penegakan hukum yang cenderung masih lemah.

Mengantisipasi fenomena ini, pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat, mulai bersiap menghadapinya. Dimulai dengan diinisiasinya kerjasama riset terkait climate change dengan ditandainya Memorandum of Undestanding (MoU) antara BAPPEDA dan BLHP NTB, Universitas Mataram dan AusAID-CSIRO Research for Development Alliance tenanting Operating ZPrinciples for the Research project Climate Futures and Rural Livelihood Adaptation Strategies in NTB Province, yang berlaku sejak Juli 2010 hingga Juni 2013. Niat baik ini sebelumnya juga telah dilakukan dengan keluarnya Keputusan Gubernur NTB No. 68.B pada 2008 tentang Pembentukan Gugus Tugas untuk Pengarusutamaan Aspek-Aspek Perubahan Iklim di Prov. NTB,serta adanya Rencana Pembangunan jangka Menengah Daerah Prov NTB 2009-2013 yang salah satu keberpihakannya pada isu global warming. Usaha pemerintah NTB tidak berhenti ditingkat ini saja, bekerjasama dengan WWF dan didukung pendanaan dari GTZ (Deutshe Gesellscahft fur Technische Zussamensarbeit), mereka melakukan Kajian Resiko dan Adaptasi Perubahan Iklim di pulau Lombok dan selanjutnya dilanjutkan dengan penyusunan Rencana Aksi Daerah-Adaptasi dan Mitigasi Perubahan iklim global di provinsi NTB untuk tahun 2010-2015.

Akhir bulan Mei 2011, NTB menyelenggarakan Lokakarya membahas rencana skenario menghadapi perubahan iklim di masa datang dan bagaimana usaha mata pencaharian masyarakat dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. Lokakarya ini berlangsung mulai tanggal 30 Mei hingga 2 Juni 2011 di Hotel Sanur Paradise Plaza – Bali dengan menghadirkan berbagaio narasumber penting baik dari CSIRO Australia maupun dari stakeholder perguruan tinggi. Strategi kegiatan ini adalah mencoba memfasilitasi pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan para pihak menjadi pengetahuan bersama. Pengetahuan bersama inilah yang dianggap paling ideal dapat menjawab upaya antisipasi dan mitigasi perubahan iklim yang terjadi di NTB.

Disadari walau ini masih tahap awal dari upaya besar menghadapi perubahan iklim , namun NTB telah memulai dan berbenah menghadapi perubahan iklim, orang bijak berkata bahwa langkah besar tidak akan berjalan tanpa didahului langkah pertama, dan NTB telah melangkah, akankah daerah lain mengikutinya langkah mereka?kita lihat saja nanti!

Kami Sudah merasakan akibat Perubahan Iklim!


Pak, Kami sudah merasakan akibat perubahan iklim? Ini adalah respon spontan yang disampaikan Pak Supriadi-Ketua Kelompok Nelayan Bintang Samudera, yaitu kelompok masyarakat penangkapan kepiting Rajungan, setelah sesi presentasi di kegiatan Workshop Pengembangan Desa Tahan Perubahan Iklim ‘ yang berlangsung pada 10 Mei 2011, di Rumah Pintar,Desa Tanjung Pasir,Kec Teluk Naga,Kab.Tangerang. Kegiatan ini bertujuan untuk menggali dan memberikan masukan terhadap Konsep Desa Tahan Perubahan Iklim’ dari berbagai stakeholder terutama masyarakat yang terkena dampak langsung perubahan iklim dan bencana.

Selanjutnya Tim IMACS, melakukan wawancara langsung untuk mengetahui dampak apa yang telah dirasakan oleh masyaralat Desa Tekluk Naga seperti yang disampaikan tadi.

‘Pak, sudah dua tahun ini kami kesulitan menangkap kepiting rajungan, kepting itu sepertinya hilang entah kemana juga ikan-ikan mulai sedikit, padahal kami dahulu ketika kepiting rajungan masih banyak muncul, setiap nelayan jika turun kelaut sehari bisa dapat seratus ribu rupiah, sekarang untuk dapat 20 ribu aja susah sekali’ begitu informasi Beliau saat awal wawancara. ‘Anggota kelompok nelayan saya sekarang tinggal sepuluh orang Pak dari 60 anggota, untung kami diperbolehkan jualan di lokasi Pos Angkatan laut ini jadi sedikit menolong, tambah beliau.

Menurut Bapak penyebab hilangnya kepiting rajungan itu apa pak?, ‘nah itu tadi yang saya sampaikan bahwa ini gara-gara musim yang tidak menentu Pak, saat ini seharusnya sudah musim timur tapi cuacanya masih seperti musim barat , kepiting rajungan itu biasanya muncul mulai bulan keempat hingga bulan pertama tahun berikutnya, bulan kedua dan ketiga ada tapi sedikit sekali, namun sekarang yang seharusnya melimpah, malah tidak ada kepiting yang muncul’.

Besar kemungkinan analisa Pak Supriadi benar bahwa berkurangnya kelimpahan kepiting rajungan disebabkan telah berubahnya iklim di laut yang tentunya akan berdampak kepada siklus perkembangbiakan organisme tersebut mengingat adanya perubahan suhu, seperti yang terjadi di darat dimana terjadi peningkatan populasi ulat bulu yang berlebih-lebihan di daerah jawa timur dan tengah, menurut Suputa- pakar hama dan penyakit tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Perubahan iklim terutama temperatur lingkungan ikut mempengaruhi populasi ulat bulu, karena temperatur yang meningkat dapat mempercepat siklus hidup ulat itu’. Mungkin temperatur yang meningkat menyebabkan telur-telur rajungan mati?

‘Kalaupun kami bisa menangkap rajungan sekarang Pak, tapi baru beberapa menit di perahu rajungan itu menjadi merah dan mati, nah kalau hal ini kami yakin bahwa ini disebabkan pencemaran yang makin banyak dibawa oleh sungai Cisadane ke daerah laut kami Pak’ tambah pak Supriadi. Mungkin pencemaran juga menjadi penyebab mudahnya kematian rajungan yang ditangkap, namun hal ini masih perlu penelitian lebih dalam.

Desa Teluk Naga sejak dahulu juga terkena dampak rob, namun yang dirasakan warga, rob saat ini airnya sudah makin dalam, rob juga membawa material pasir yang menutupi saluran air di empang-empag masyarakat sehingga menggangu sirkulasi air yang pada ujungnya menggangu pertumbuhan udang dan ikan yang dibudidaya. Bahkan 10 .000 benih bandengan yang ditebar oleh Ibu Ani Yoduyono pada tahun 2010 bersamaan dengan peresmian Rumah Pintar bantuan SIKIB hingga hampir dua tahun masih sebesar dua jari orang dewasa, padahal umumnya waktu pembudidayaan bandeng hanya sekitar 4-5.bulan sudah dapat dipanen.


Walau masih perlu analisa lebih dalam terkait dengan fenomena ini,namun yang pasti masyarakat desa Teluk Naga ketahui bahwa mereka saat ini sudah kesulitan menangkap rajungan dan ikan lagi, dan menurut persepsi mereka hal ini disebabkan telah berubahnya musim di laut,

Pertanyaannya ‘Akankah kita berdiam diri dan membiarkan ini terus terjadi atau bahkan turut memperparah dampaknya dengan melakukan pengelolaan sumberdaya dengan cara yang tidak ramah lingkungan?..semua ada ditangan kita?kun