Tuesday, January 4, 2011

“Sumpah Pocong Versi Bahari“

Cerita Sukses Pengelolaan DPL Berbasis Kearifan Lokal

(Pembelajaran Implementasi CBM di Kab. Buton)

Paradigma Baru Pengelolaan SD Perikanan

Paradigma pengelolaan sumberdaya perikanan saat ini mulai bergeser secara substansial, dimana telah memposisikan masyarakat pesisir dan kepulauan sebagai faktor terpenting (main factor) dalam merumuskan sistem, kebijakan dan model pengelolaan. Paradigma ini diniscayakan dengan konsideransi bahwa masyarakat pesisir dan kepulauan merupakan bagian dalam sistem sosio-ekologi pesisir. Masyarakat pesisir dan kepulauan paling tidak memiliki tiga keutamaan dalam konteks berinteraksi dengan sumberdaya, pertama; memiliki sistem dan nilai-nilai tradisi yang berorientasi pada konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan (sustainable utilization), kedua; dengan intensitas relasi yang tinggi karena sumberdaya perikanan adalah sumber penghidupan bagi masyarakat pesisir dan kepualaun, sehingga secara simultan dapat menjalankan fungsi monitoring dan survaillance dengan efektif, dan ketiga; dengan kedekatan domisili antara masyarakat pesisir dan kepulauan dengan sumberdaya, sehingga dapat melakukan tindakan seketika jika terjadi insiden yang berpotensi merusak atau mengganggu keseimbangan sumberdaya perikanan.

Implementasi COREMAP II yang menitikberatkan pendekatannya pada pengelolaan sumberdaya pesisir berbasis masyarakat secara sistematis mempromosi dan memfasilitasi proses revitalisasi potensi atau keunggulan masyarakat pesisir dan kepulauan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Sejumlah Desa sebagai lokasi COREMAP II secara gradual telah mampu menginisiasi lahirnya model-model pengelolaan sumberdaya perikanan yang bertumpu pada sistem dan nilai tradisi lokal, salah satunya di Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton.

Lesson Learned Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut

Secara geografis Kecamatan Wabula terletak pada posisi -5° 35' 60.00", +122° 49' 58.80" atau di sebelah selatan Pulau Buton. Secara administratif Kecamatan Wabula dengan Ibukota di Desa Wabula Kabupaten Buton yang mencakup 5 wilayah administrasi Desa, yakni Desa Koholimombono, Holimombo, Wasampela, Wabula dan Wasuemba. Dalam upaya penyelamatan terumbu karang serta mewujudkan pengelolaan dan pelestarian lingkungan pesisir dan potensi kelautan dan perikanan, Desa Wabula telah membentuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dilegitimasi dengan Peraturan Desa (Perdes).

Daerah Perlindungan Laut (DPL) sebetulnya sudah tidak asing lagi dalam masyarakat Wabula. Sebelum terbentuknya DPL masyarakat Wabula sudah menerapkan sistem pelestarian lingkungan baik darat maupun laut dengan istilah OMBO. Untuk wilayah laut, OMBO dilakukan dengan sistem buka tutup area dengan luasan tertentu dan dalam jangka waktu 1 semester dan selanjutnya dibuka dan penutupan (OMBO) di areal pemanfaatan sebelumnya. Namun seiring berkembangnya jaman dan desakan kebutuhan dan tingginya konsumsi ikan, saat ini sistem OMBO hanya diterapkan untuk jenis Teripang dan Lola yang berlaku dalam jangka waktu yang tidak ditetapkan (setelah adanya pihak investor dan diputuskan oleh pemerintah dan masyarakat Desa).

Dalam perjalannya pengelolaan DPL terbilang sukses dan berhasil, baik dari sisi pertumbuhan dan kelestarian terumbu karang, hasil tangkapan masyarakat ataupun pengawasan serta penegakkan aturan mainnya (Perdes). DPL Desa Wasuemba dengan luasan 750 m x 2000 m terletak di ujung selatan Kec. Wabula dan jauh dari pemukiman, sangat rawan dengan praktek-praktek destructive fishing (seperti bom dan potasium) bahkan eksploitasi hasil dalam areal DPL sendiri masih sering terjadi. Kesadaran dan kepedulian masyarakat yang begitu tinggi dalam melestarikan terumbu karang, hampir menimbulkan bentrokan fisik dan bahkan hampir menelan korban jiwa oleh aksi kejahatan yang dilakukan para pelaku yang tidak bertanggung jawab . Minimnya fasilitas dan peralatan pengawasan masyarakat yang hanya mengandalkan sampan (koli-koli), telah berakibat pada makin maraknya aksi pencurian (illegal fishing) oleh para pelaku dengan leluasa beraksi (terutama pada malam hari) karena dukungan fasilitas dan persiapannya lebih canggih dan matang (terencana). Namun tidak sedikit juga para pelaku yang tertangkap basah telah diberikan sanksi (denda) sesuai Perdes.

Sebuah kejadian telah menarik banyak perhatian masyarakat, yaitu pada hari Minggu tanggal 2 Maret 2008 berlokais di Galampa Desa Wabula telah dilakukan pertemuan (sidang) yang membahas laporan LA DUWI sebagai Motivator Desa (MD) program COREMAP II Desa Wabula yang menangkap basah seorang warga Desa Wabula yang berinisial SR telah mengambil gurita dalam areal DPL Wabula – Wasampela. Dalam keterangannya MD menegur SR karena masuk dalam area DPL namun SR justru tetap mengambil seekor gurita dan berdalih bahwa keberadaannya di luar beberapa tiang tancap yang menurutnya adalah batas DPL. Namun MD tetap bersikeras bahwa apa yang dilakukan SR termasuk unsur kesengajaan karena sudah berkali-kali diberitahu dan ditunjukkan tiang tancap sebagai batas DPL yang sebenarnya dan posisi tiang tancap yang dimaksudkaannya adalah bukan batas-batas DPL tetapi dipindahkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena kedua belah pihak saling ngotot dan merasa benar dan hanya berdaasarkan barang bukti seekor gurita (tidak ada saksi mata) maka diberlakukan hukum Kaleo-leo.

Hal ini sebagaimana tercantum dalam salah satu pasal Perdes Desa Wabula tentang penyelesaian konflik (permasalahan) bahwa “apabila terjadi konflik (permasalahan) internal antara warga dalam satu desa (Desa Wabula) dan tidak dilengkapi dengan saksi mata atau barang bukti maka penyelesaiannya dilakukan Kaleo-leo dan hasilnya wajib diterima oleh kedua belah pihak dan pihak yang bersalah wajib membayar denda sesuai tingkat pelanggarannya”.

Oleh karena proses KALEO-LEO dimenangkan oleh LA DUWI maka SR wajib membayar denda sebesar 1 juta rupiah (sebagaimana yang ditetapkan dalam Perdes).

Kaleo-leo adalah salah satu hukum Qisas yang diatur dalam prosesi tatanan adat dan budaya masyarakat Wabula dan digunakan untuk mengatur tatanan kehidupan sosial, ekonomi dan lingkungan masyarakat Wabula baik di laut (Nambo) maupun darat (Pangkolo).

Secara harfiah Kaleo-Leo berasal dari kata LEO yang berarti menyelam. Sehingga KALEO-LEO adalah rangkaian kata berulang yang bermaksud menyerukan kedua belah pihak yang bertikai untuk membuktikan kebenaran ataupun kesalahannya dengan cara menyelam (karena masing-masing saling mengklaim kebenaran tanpa adanya bukti dan saksi). Dalam prosesi KALEO-LEO, kedua belah pihak sebelum melakukan penyelaman diwajibkan untuk memegang tiang kayu (masing-masing 1 tiang) yang sudah disediakan dan masing-masing tiang dibacakan BATATA oleh pemuka adat yang berisi sumpah dan menyerahkan semua permasalahan kedua pihak kepada penentu keadilan dan kebenaran hakiki (Allah SWT) melalui air sebagai salah satu kekuasaannya dan permohonan untuk mewujudkannya dalam waktu dan lamanya penyelaman.

Dalam kasus LA DUWI dan SR, setelah dilakukan aba-aba penyelaman di masing-masing tiang, dalam waktu sekitar 3 menit SR telah memunculkan beberapa gelembung di atas permukaan laut. Dan akhirnya pada menit ke 4, SR sudah muncul dipermukaan. Sementara itu LA DUWI merasa nyaman dan tertidur di dalam air dan baru sadar posisinya menyelam setelah ditarik kakinya oleh pemegang tiang. Kondisi SR yang gelisah dan tidak mampu bertahan lama saat menyelam adalah wujud keadilan Ilahi akibat kelalaiannya dan tidak mengakui perbuatannya.

Banyak orang beranggapan bahwa pihak yang menang dalam KALEO-LEO lebih ditentukan oleh kelincahan dan kepiawaian penyelamnya (yang biasa menyelam), namun kebanyakan kasus KALEO-LEO justru dimenangkan oleh orang yang tidak pernah menyelam. Dan sebaliknya setiap pihak yang merasa bersalah selalu memanggil orang yang pengalaman dalam menyelam tetapi tetap juga kalah.


DPL wilayah Kecamatan Wabula yang sudah tergolong sukses telah membawa keberuntungan tersendiri bagi masyarakat. Bagaimana tidak, beberapa kasus pelanggaran DPL dengan denda yang tidak sedikit telah menambah Kas dan Pendapatan Asli Desa (PAD).

Beberapa kasus pelanggaran DPL dan denda yang diterapkan :

No.

Waktu Kejadian

Permasalahan

Lokasi DPL

Denda (Rp)

1

Desember 2006

2 orang bersama-sama Menjaring dalam DPL

Wasuemba

2.000.000,-

2.

Maret 2007

2 orang bersama-sama menjaring di sekitar DPL tetapi mereka belum mengerti lokasi DPL

Wabula-Wasampela

250.000,-

3.

April 2007

2 orang mengambil 2 ekor teripang dalam DPL karena belum tahu DPL

Wasuemba

100.000,-

4.

Mei 2007

2 orang menangkap ikan dalam DPL dengan lampu petromax

Wabula-Wasampela

2.000.000,-

5.

September 2007

1 orang melakukan buka-tutup (kadongka) karang dalam DPL

Koholimombono

500.000,-

6.

Maret 2008

1 orang mengambil gurita dalam DPL

Wabula-Wasampela

1.000.000,-

Sumber : Laporan Fasilitator Kec. Wabula

Dari fenomena di atas, upaya pelestarian terumbu karang di Wabula menjadi bahan referensi dan pembelajaran utamanya dalam menjalankan program pemberdayaan masyarakat serta penyelamatan lingkungan pesisir di Indonesia, dan untuk lebih memperkuat dan mengefektifkan pengelolaan sumberdaya perikanan di Wabula dan ditempat-tempat lain perlu adanya strategi advokasi, kampanye bagi semua pihak serta dukungan sarana dan prasarana pengawasan, pembinaan dan pelestarian budaya tradisional, seperti OMBO di Wabula..



Lesson Learned Implementasi Dana Pengembangan Masyarakat COREMAPM II

CERITA SUKSES PENGAKSES DANA LKM

Diceritakan oleh Dede Setiawan (Cf Kampung Kaliam) Kepada Konsultan C2 Kab. Raja Ampat

Ludwik Hudson Mambrasar ( biasa dipanggil Udson ) merupakan salah satu anggota LKM Kampung Kaliam. Udson menjadi anggota LKM Kampung Kaliam sejak adanya dana LKM tahap I. Udson merupakan salah satu penampung lobster dan hasil laut lainnya seperti lola dan teripang, namun yang menjadi usaha utamanya adalah lobster.

Udson merintis usahanya dengan hanya menampung dari nelayan – nelayan lokal yang tidak menjual lobsternya ke pedagang Buton yang ada di kampung. Hal ini dikarenakan, karena pedagang tersebut memiliki kios di kampung sehingga penjualan lobster dapat ditukarkan dengan kebutuhan harian atau pembayaraan hutang – hutang di kios. Udson berusaha untuk tidak berhutang dan hanya menjual lobster ke penampung di Sorong 1x tiap bulannya dengan harga lobster bambu Rp.120,000 / kg dan lobster mutiara Rp.200,000 / kg ( harga beli di kampung ) dan biaya BBM untuk transportasi ke Sorong Rp.600,000 P/p Udson masih menyisakan keuntungan lebih dari Rp.500,000 setiap bulannya.

Dengan menjadi anggota LKM Kampung Kaliam dan mengakses dana pinjaman LKM sebesar Rp.1,000,000 ; Udson meningkatkan usahanya dan manjalankan strategi bisnisnya dengan baik. Dana tersebut sebagian dibelikan sembako dan BBM untuk kebutuhan nelayan – nelayan pencari lobster dan mereka berangkat mencari lobster bambu di ujung barat Pulau Batanta. Para nelayan tersebut mengambil sembako untuk keluarga di rumah yang mereka tinggalkan ( utang ). Selama mencari Lobster, Udson menyediakan semua kebutuhan nelayan mulai dari sembako dan minyak tanah untuk lampu petromax. Dan lobster hasil tangkapan nelayan – nelayan tersebut kemudian disetorkan kepada Udson dan pembayarannya diberikan setelah lobster dijual ke Sorong. Harga jula lobster bambu berkisar Rp.170,000 – Rp.200,000 dan lobster mutiara berkisar Rp.400,000 – Rp.500,000.

Saat ini, dalam 1 bulan Udson mampu menjual lobster bambu lebih dari 30 kg setiap kali berangkat ke Sorong dan melakukan penjualan lebih dari 4x setiap bulannya. Hanya dalam waktu 1 bulan, Udson sudah melunasi pinjamannya dan kembali mengakses dana sebesar Rp.2,000,000 dan dibantu oleh Ayahnya (Bp. Timotius Mambrasar ) yang mengakses dana Rp.1,000,000. Saat ini keuntungan yang di dapat oleh keluarga Mambrasar sebesar ±Rp.4,000,000 setiap bulannnya Dan mereka mulai mengembangkan usahanya lagi dengan menjual BBM di kampung walaupun masih belum tetap. Dan sudah mendapatkan supply sembako ( utangan ) dari salah satu penampung lobster di Pulau Doom ( H.Rochim ) untuk kebutuhan nelayan – nelayan pencari lobster di Kampung Kaliam agar tetap menjual lobsternya kepada Udson.